Jaga Keseimbangan Tata Kelola, KKP Rumuskan Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan

SIARAN PERS
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Nomor: SP. 445/SJ.5/IV/2021

JAKARTA (26/4) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja untuk mengenakan sanksi administrasi bagi pelaku pelanggaran di bidang kelautan dan perikanan. Pelaksanaan ini dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri tentang Pengenaan Sanksi Administratif Bidang Kelautan dan Perikanan. Hal ini terungkap dalam acara Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Menteri tentang Pengenaan Sanksi Administratif Bidang Kelautan dan Perikanan, yang diselenggarakan pada hari Senin (26/4/2021). 

Pelaksanaan amanat UU Cipta Kerja yang tepat untuk memenuhi aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sejalan dengan kebijakan Menteri Trenggono yang terus berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha di bidang kelautan dan perikanan, dengan tetap menjunjung tinggi kepatuhan dan perlindungan kelestarian sumber daya serta keseimbangan tata kelola perikanan. 

“Dengan adanya perubahan paradigma melalui Undang-Undang Cipta Kerja ini, maka pendekatan sanksi administrasi akan lebih didorong, termasuk melalui pengenaan denda administrasi,” ujar Plt. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Antam Novambar dalam konsultasi publik yang diisi oleh para narasumber yang kompeten dan dihadiri oleh para stakeholders, mulai dari penegak hukum sampai dengan pelaku usaha tersebut. 

Lebih lanjut, Antam menegaskan bahwa perubahan paradigma ini merupakan upaya untuk membangun sektor kelautan dan perikanan untuk tumbuh lebih baik dari sebelumnya. 

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum dan Ketahanan Ekonomi, Kementerian Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menyampaikan bahwa konsepsi sanksi dalam Undang-Undang Cipta Kerja diarahkan pada upaya perbaikan agar kesalahan yang bersifat administratif tidak diproses melalui penyelesaian pidana. Hal tersebut juga dilakukan untuk sektor lainnya juga, bukan hanya kelautan dan perikanan. 

“Ada 291 Pasal yang mengubah rumusan pengenaan sanksi dalam UU Cipta Kerja dengan lebih mendorong pengenaan sanksi administrasi,” terang Elen. 

Hal senada juga disampaikan oleh Inspektur Jenderal KKP, Muhammad Yusuf yang menyampaikan bahwa penerapan sanksi administrasi ini lebih mengedepankan prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan di sektor kelautan dan perikanan. Hal ini penting mengingat sektor kelautan dan perikanan ini terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. 

“Tujuannya tentu agar prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan ini dapat dicapai dalam penerapan sanksi,” jelas Yusuf. 

Sedangkan menurut Yunus Husein, pakar hukum yang juga Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jakarta, menyambut positif perubahan paradigma di Undang-Undang Cipta Kerja yang memberikan ruang bagi pengenaan sanksi administrasi. Yunus menyampaikan bila pemidanaan yang selalu didorong, hal tersebut akan kontra produktif dengan upaya pembinaan dan pembangunan nasional. Selain itu, Yunus menekankan pentingnya pengenaan sanksi administratif bukan hanya mendatangkan keadilan bagi pelaku usaha tetapi juga untuk mencegah efforts dan sumber daya yang terbuang dalam melaksanakan sistem pemidanaan perikanan. 

“Ini menjadi alternatif dalam upaya meningkatkan kepatuhan, artinya tidak selalu semua harus dengan pidana yang akan menyusahkan pelaku,” ungkap Yunus. 

Adapun Plt. Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan, Matheus Eko Rudianto menjelaskan bahwa ada 4 (empat) kelompok jenis pelanggaran yang dikenakan sanksi administrasi yaitu pelanggaran ketentuan perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan, pelanggaran pemanfaatan ruang laut, pelanggaran ketentuan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) dan pelanggaran ketentuan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman. 

“Bentuknya sanksinya diantaranya peringatan/teguran tertulis, paksaan pemerintah, denda administratif, pembekuan/pencabutan perizinan berusaha, penghentian sementara kegiatan dan pelayanan umum, pencabutan/pembatalan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (KKPRL), pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi laut, pembekuan/pencabutan Surat Penyedia SPKP, dan pembekuan/pencabutan surat keterangan aktivasi transmitter (SKAT),” terang Eko. 

Konsultasi publik yang dihadiri oleh lebih dari 500 peserta, baik secara luring dan daring ini bertujuan memperoleh masukan masyarakat, guna penyempurnaan rancangan Peraturan Menteri sebelum disahkan dan diundangkan. Peserta yang hadir didominasi oleh pelaku usaha baik sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan, pemanfaatan ruang laut dan penyedian jasa VMS. Selain itu konsultasi publik juga dihadiri oleh institusi penegak hukum antara lain TNI AL, Polri, Pengawas Perikanan, Polsus PWP3K dan juga Dinas Kelautan dan Perikanan. 

Sumber : HUMAS DITJEN PSDKP

Menteri Trenggono Tampung Keluh Kesah Nelayan Natuna Soal Cantrang

SIARAN PERS
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Nomor: SP. 432/SJ.5/IV/2021

NATUNA (22/4) – Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memastikan pihaknya akan menindak tegas kapal-kapal penangkap ikan yang melanggar aturan saat beroperasi, baik itu kapal Indonesia apalagi kapal ikan berbendera asing. Hal ini disampaikan oleh Menteri Trenggono saat menampung keluh kesah nelayan di SKPT Natuna di Selat Lampa, Kamis (22/4/2021). 

Nelayan mengeluhkan kerap mendapati kapal-kapal ukuran lebih dari 30 GT dengan alat tangkap tidak ramah lingkungan beroperasi di bawah 30 mil laut di perairan Natuna. Alat tangkap yang dimaksud salah satunya cantrang. 

“Ini jadi perhatian serius. Kami selama ini rutin melakukan penangkapan. Terbaru di Kepulauan Seribu kami tangkap ada dua kapal ikan yang beroperasi tidak sesuai daerah penangkapan,” tegas Menteri Trenggono. 

Sepanjang tahun ini, tim patroli PSDKP KKP menangkap 80 kapal yang terdiri dari kapal ikan berbendera asing dan kapal Indonesia pelanggar aturan. Sedangkan untuk mengawasi wilayah perairan Natuna saja, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengerahkan sembilan unit kapal pengawas. 

Menteri Trenggono memahami keresahan nelayan Natuna sebab penangkapan ikan di wilayah yang bukan seharusnya berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan setempat. Untuk itu, dia meminta mereka untuk segera melaporkan ke petugas patroli PSDKP bila menemukan kapal-kapal penangkapan ikan ukuran besar yang menyalahi aturan. 

“Ini langsung dicatat nomor direktur patrolinya,” imbau Menteri Trenggono yang saat bertemu nelayan didampingi oleh para pejabat eselon I dan II lingkup KKP. 

Selain memberantas praktik ilegal di laut seperti illegal fishing, destructive fishing, hingga penangkapan ikan di luar ketentuan, KKP juga sedang menata pengelolaan subsektor perikanan tangkap. Kebijakan pendukung tengah digodok dan harapannya dapat diimplementasikan pada Juni 2021. 

Menteri Trenggono menuturkan, tata kelola perikanan tangkap ke depannya bertujuan pada peningkatan penerimaan negara, perbaikan infrastruktur perikanan, hingga kesejahteraan bagi para nelayan. Sejalan dengan itu, prinsip keberlanjutan tetap menjadi pegangan. 

“Selain persoalan alat tangkap, bagaimana nelayan bisa berjaya juga kami pikirkan. Ini yang jauh lebih peting. Pertama kita jaga wilayah, penjagaan diperkuat, illegal fishing diberantas, tapi disisi lain ada penataan,” ungkapnya. 

Sementara itu, salah satu penyebab nelayan Natuna kesal dengan praktik penangkapan ikan di bawah 30 mil oleh kapal nelayan pengguna alat tangkap tidak ramah lingkungan adalah rusaknya rumpon-rumpon yang mereka bangun. Padahal, rumpon menunjang jumlah tangkapan menjadi lebih banyak. 

“Tolong kami Pak Menteri, rumpon kami rusak. Kami membuatnya pakai biaya sendiri,” ujar salah satu nelayan. 

Selain berdialog dengan nelayan, Menteri Trenggono juga meninjau fasilitas cold storage yang ada di SKPT Natuna. Dia juga bertolak ke Pulau Sedanau untuk berdialog dengan pembudidaya ikan kerapu dan napoleon.

Sumber : BIRO HUMAS DAN KERJA SAMA LUAR NEGERI

KKP Tetapkan Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu Paus

SIARAN PERS
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Nomor: SP. 388/SJ.5/IV/2021

 JAKARTA (10/4) – Sinergikan pengelolaan hiu paus, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu Paus (Rhincodon typus) Tahun 2021-2025. 

Kepmen KP tersebut ditandatangani oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono pada tanggal 1 Maret 2021 dan diluncurkan pada penyelenggaraan Simposium Hiu dan Pari di Indonesia ke-3 di Jakarta, Rabu (7/4/2021). 

Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Tb. Haeru Rahayu mengatakan Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu Paus akan menjadi acuan bagi unit kerja di lingkungan KKP dan instansi terkait dalam pelaksanaan konservasi hiu paus sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. 

“RAN yang ditetapkan memuat strategi, kegiatan, Indikator, output, lokasi, waktu, penanggung jawab, dan unit kerja terkait dalam konservasi hiu paus di Indonesia,” ujar Tebe di Jakarta. 

Tebe mengungkapkan, dari 117 jenis ikan hiu yang ada di Indonesia, ikan Hiu Paus merupakan satu-satunya jenis ikan hiu yang sejak tahun 2013 statusnya dilindungi secara penuh melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor: 18/KEPMEN-KP/2013. 

“Penetapan status perlindungan saja tidak cukup, diperlukan upaya konservasi hiu paus yang berkelanjutan, terencana, dan terukur. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dan rencana aksi konservasi hiu paus di Indonesia,” ungkapnya. 

Tebe mengharapkan, RAN Konservasi Hiu Paus yang ditetapkan tidak sekedar menjadi dokumen perencanaan, tetapi dilaksanakan secara serius oleh para pihak, terutama oleh instansi yang menjadi penanggung jawab kegiatan. Sehingga kondisi hiu paus di alam menjadi Iebih baik dalam 5 tahun mendatang. 

“KKP akan mengevaluasi pelaksanaan RAN tersebut setiap tahun,” tegasnya. 

Sementara itu, Direktur Program Kelautan dan Perikanan Yayasan WWF Indonesia, Imam Musthofa Zainudin menyambut baik ditetapkannya RAN Konservasi Hiu Paus sebagai bukti keseriusan terhadap konservasi hiu dan pari terancam punah. 

Hiu paus meskipun dilindungi penuh, aktivitas pemanfaatan non ekstraktif berupa wisata bahari masih dimungkinkan dan terbukti telah berjalan dengan cukup baik seperti di NTB dan Gorontalo. Kegiatan pengelolaan dan pemanfataan berkelanjutan Hiu Paus ini semuanya telah tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu Paus. 

Pada hari ke-2 simposium, peserta berkesempatan mengikuti virtual tour wisata Hiu Paus di kawasan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat yang merupakan salah satu upaya terobosan dalam menjaga kelestarian hiu dengan tetap memperoleh manfaat ekonomi di era pandemi ini. 


Sumber : HUMAS DITJEN PENGELOLAAN RUANG LAUT

Sinergikan Kegiatan Pusat dan Daerah, KKP Ajak Bijak Mengelola Laut

SIARAN PERS
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Nomor: SP. 385/SJ.5/IV/2021 

JAKARTA (9/4) – Dalam rangka sinkronisasi rencana kerja bidang pengelolaan ruang laut sebagai dasar dan pedoman bagi penetapan program dan kegiatan di setiap unit satuan kerja, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyelenggarakan Rapat Kerja Teknis (Rakernis) pada 6-8 April 2021 dengan tema Bijak Mengelola Laut. 

Direktur Jenderal PRL, Tb. Haeru Rahayu menekankan pentingnya sinergi dan sinkronisasi program pengelolaan ruang laut untuk mengakselerasi pelaksanaan kegiatan di tahun 2021. 

“Melalui Rakernis ini, saya sangat berharap dapat terjalin sinergi antara satker pusat, UPT, dekonsentrasi Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan tugas pembantuan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota sehingga agenda-agenda pembangunan dan pelaksanaan program dan kegiatan pengelolaan ruang laut dapat terlaksana dengan baik,” ujar Tebe di Bandung (7/4/2021). 

Lebih lanjut Tebe menyampaikan bahwa Rakernis Tahun 2021 merupakan langkah awal pelaksanaan kegiatan untuk satu tahun ke depan. Kegiatan ini sangat penting dilaksanakan sebagai implementasi dari Rencana Kerja tahun ke-2 yang telah disusun sesuai dengan Rencana Prmbangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020 – 2024. 

Mandat yang diberikan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Undang-Undang No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan menjadi dasar sekaligus memperjelas tugas pokok dan fungsi dari pengelolaan ruang laut yang meliputi: Pertama, perencanaan ruang laut (rencana zonasi kawasan antar wilayah, rencana zonasi kawasan strategis nasional/tertentu, dan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil). 

Kedua, pendayagunaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi rehabilitasi mangrove, sertipikasi pulau-pulau kecil terluar, pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan lokal, dan mitigasi bencana dan adaptasi perubahan iklim, optimalisasi pendayagunaan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui bantuan sarana dan prasarana. 

Ketiga, penataan dan pemanfaatan jasa kelautan yang terdiri dari pengembangan usaha garam rakyat (PUGaR), pemanfaatan air laut non energi, pengembangan desa wisata bahari (Dewi Bahari) dan benda muatan kapal tenggelam (BMKT), pemanfaatan reklamasi, serta penataan bangunan dan instalasi laut. 

Keempat, perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan kawasan konservasi dan keanekaragaman hayati laut yang meliputi pengelolaan kawasan konservasi, penambahan luas kawasan konservasi, perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati laut dan jejaring, kemitraan/kerja sama dan konvensi konservasi keanekaragaman hayati laut. 

Selain tugas pengelolaan ruang laut, Tebe juga menekankan bahwa potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari sub bidang pengelolaan ruang laut diperoleh melalui kegiatan Izin Penyelenggaraan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut, Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil/Terluar, Izin Pengembangan Wisata Bahari (Perizinan Berusaha dan Persetujuan Wisata Mancing), Izin Pengelolaan Benda Muatan Kapal Tenggelam (BMKT), Izin Pemanfaatan Air Laut Non Energi, Izin Pelaksanaan Reklamasi, dan Izin Pemanfaatan Pasir Laut (Dalam Negeri dan Ekspor). 

“Total potensi PNBP tahun 2021 hingga 2024 pengelolaan ruang laut sebesar Rp17,11 triliun yang dihitung berdasarkan usulan Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 Tahun 2015, jika nantinya ditetapkan di tahun 2021 dan ekspor pemanfaatan pasir laut kembali dibuka,” terang Tebe. 

Lebih lanjut Tebe menjelaskan rata-rata potensi PNBP Tahun 2021 – 2024 per tahunnya mencapai Rp4,28 triliun. Tiga kegiatan dengan potensi terbesar terdiri dari pemanfaatan pasir laut sebesar Rp16,1 triliun, izin pelaksanaan reklamasi sebesar Rp540,62 miliar, dan penyelenggaraan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebesar Rp200,51 miliar. 

“Dengan adanya PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, ini menjadi acuan dalam pengalokasian program/kegiatan dan dukungan pendanaan yang pasti bagi Provinsi dan Kabupaten/Kota, tapi tetap ada rambu-rambu yang harus dipatuhi dalam pelaksanaannya,” tegasnya. 

Dengan semakin terbatasnya alokasi anggaran APBN saat ini, Tebe juga meminta agar pengalokasian program dan kegiatan dapat lebih fokus, efisien dengan melibatkan partisipasi masyarakat, serta kehati-hatian dalam penggunaan anggaran agar akuntabel dan transparan. 

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Hermansyah dalam Rakernis tersebut mengungkapkan pihaknya sangat mendukung sinergi program-program serta kegiatan kelautan antara pusat dan daerah khususnya untuk mendukung pemulihan ekonomi di Jawa Barat dan mewujudkan pencapaian ketahanan pangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek pengelolaan kelautan yang berkelanjutan.

Sumber : HUMAS DITJEN PENGELOLAAN RUANG LAUT

KKP Kebut Pendataan Pelaku Usaha Perikanan Seluruh Indonesia

SIARAN PERS

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

Nomor: SP.355/SJ.5/IV/2021

JAKARTA (3/4) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah mengebut pendataan terhadap pelaku usaha kelautan dan perikanan yang ada di seluruh Indonesia. Data pelaku usaha memiliki banyak kegunaan, diantaranya sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan hingga menjadi acuan pelaksanaan program kerja kementerian. 

Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi (Pusdatin) KKP, Budi Sulistiyo menjelaskan, KKP tengah menyiapkan kebijakan Neraca Komoditas Perikanan sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. 

Kebijakan tersebut selaras dengan program prioritas yang dicanangkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yakni peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sub sektor perikanan tangkap. Keberhasilan pelaksanaan keduanya tentu diawali dengan penyediaan data yang lengkap dan akurat. 

“Data pelaku usaha penting sekali. Selain untuk penetapan kerangka sampling, juga untuk survei produksi perikanan, ketertelusuran data produksi, penyaluran bantuan pemerintah, pelayanan perizinan terintegrasi dengan One Single Submission (OSS), hingga dipakai sebagai pemantauan kepatuhan serta pembayaran PNBP,” ujar Budi saat mengisi webinar Membangun Satu Data sebagai Basis Transformasi Digital KKP (31/3/2021).

Keseriusan KKP mengumpulkan dan mengelola data tertuang dalam Instruksi Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.147/MEN-KP/III/2021 tentang Percepatan Pendataan Pelaku Utama dan Penguatan Kualitas Pengelolaan Data. Menteri Trenggono bahkan menginstruksikan seluruh jajaran eselon I KKP untuk menyelesaikan pendataan pelaku usaha paling lama tahun 2022. 

Budi menambahkan, banyak hal teknis yang sudah dilakukan oleh pihaknya. Diantaranya mengintegrasikan infrastruktur, membangun Data Center yang dilengkapi dengan Disaster Recovery Center yang bekerja 7 hari 24 jam, secara bertahap melakukan integrasi antar aplikasi. 

Selain itu, pihaknya juga menetapkan standardisasi data dan metadata guna menjamin interoperabilitas data, memperkuat kelembagaan serta meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) fungsional Pranata Komputer (Prakom), Statistisi serta Surveyor Pemetaan (Surta). 

“Salah satu bentuk transformasi digital KKP berupa pendataan produksi hasil tangkapan ikan dengan menggunakan timbangan online yang terintegrasi dengan Data Center,” ungkap Budi. 

Terkait dengan sumber daya manusia tersebut, BPS telah memberikan rekomendasi sebanyak 950 orang Prakom dan 722 orang Statistisi untuk berbagai tingkatan jenjang fungsional. Kemudian pemetaan kebutuhan tenaga fungsional di bidang Surta sebanyak 701 sedang dalam proses konsultasi dengan lembaga pembina yakni Badan Informasi Geospasial. 

Menteri Trenggono sebelumnya mengatakan, data merupakan salah satu acuannya dalam mengambil keputusan maupun membuat kebijakan. Untuk itu, dia meminta jajarannya di KKP melakukan transformasi digital sehingga perolehan dan pengolahan data menjadi informasi bisa dilakukan lebih cepat. 

Menteri Trenggono juga menekankan perlunya menggunakan teknologi dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan. Peran teknologi dapat meningkatkan kualitas layanan publik dan mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan sebagai sumber ekonomi nasional yang berkelanjutan.

Sumber :   BIRO HUMAS DAN KERJA SAMA LUAR NEGERI